Di sebuah sudut ruangan yang agak besar, Mayun duduk termenung mengingat-ingat masa remajanya. Masa-masanya menjadi sekuntum mawar merah yang merekah, anggun menatap sang mentari. Saat semua berubah ketika dia dipetik oleh seorang yang “biasa” menurut mereka. Saat dia bersukarela melepaskan diri dari tangkai yang agung dan menetapkan hati di tangan penuh luka seorang lelaki. Ketika dirinya melangkah melawan arus demi cinta. Cinta memaksanya memilih untuk bernaung di sebuah puri atau gubuk cinta.
Mayun lahir di Desa Kusamba, Kecamatan Klungkung pada tahun 1960 di tengah-tengah keluarga Puri Kusamba. Anak Agung Mayun Muliati adalah nama yang dianugerahkan oleh anak Agung Gede Anom kepada putri kelimanya ini melalui upacara lepas aon saat usianya 12 hari. Anak Agung Gede Anom seorang kepala desa saat itu. Mayun sempat merasakan kebingungan masyarakat saat si gunung Agung memuntahkan darah panas kehidupan yang merupakan akhir kehidupan dan awal dari kesuburan. Saat umurnya 3 tahun, gadis berwajah bulat dengan mata tajam ini terbiasa hidup di puri yang penuh dengan aturan dan bertentangan dengan sifatnya yang nakal. Saat itu yang ia takutkan hanyalah cubitan dari biangnya Gusti Biang Jero, yang sakitnya luar biasa karena terbiasa memilin roko ganda.
Saat Mayun dewasa, banyak laki-laki dengan kasta tinggi menginginkannya. Tapi entah kenapa dia menyerahkan dirinya kepada seorang sudra. Cintakah yang membuatnya berani menentang orang tua? Ataukah obsesinya untuk terlepas dari segala ikatan yang membelenggu? Sebuah tantangan. Ya…. arus belenggu yang mengatasnamakan dirinya kastalah yang hendak dia lawan. Tantangan untuk mengalahkan belenggu kasta. I Ketut Jendra adalah orang yang dia pilih untuk menjadi penopang jalan untuknya. Seorang pegawai Telkom yang rendah, tak berkasta dan tak berharta. Sejak itu Mayun melangkah melawan aturan Puri untuk menggapai cinta yang diinginkannya. Kawin lari adalah jalan yang dipilih oleh mereka. Walaupun orang tuanya menentang dengan mengutus seluruh keluarga Puri untuk mencari Mayun dan Ketut, dan akhirnya mereka ditemukan di Banjarangkan oleh salah satu paman Mayun. Saat itu Mayun berkata dengan mantap, “Kalau paman masih ingin melihat saya tetap hidup, tolong biarkan saya mengikuti jalan yang saya inginkan”. Sebuah gertak sambal memang, tapi cukup untuk membuat nyali mengendur. Dengan berat hati, sang paman melepas kepergian Mayun dan Ketut. Mereka pun melanjutkan perjalanan dengan dada berdebar. Hingga sampailah Mayun di sebuah rumah yang mungil dengan 2 KK yang berada di sebuah dusun terpencil di Gianyar. Siyut nama dusun itu. Nama yang aneh memang, tapi dia adalah saksi bisu dari kisah perjuangan cinta sepasang anak manusia.
Kasta telah Mayun tinggalkan. “Kulit”nya ditanggalkan demi perjuangan cinta. Namun tak cukup dengan itu, dia juga harus berjuang menghadapi kerasnya hidup sebagai orang “berbeda”. Dia harus menerima konsekuensi dari jalan yang dipilihnya. Memasuki sebuah keluarga sudra yang tak dikenal dan tidak terbayangkan olehnya.
Hal pertama yang Mayun dapati di keluarga itu adalah kesederhanaan. Jangankan meja rias tempatnya mematut diri, lemari untuk menyimpan pakaian pun tidak tersedia. Yang tersedia hanya sebuah kasur kapuk sebagai alas tidur. Tidak ada kemewahan. Tapi ini tidak menyurutkan hasratnya. Rindu pada puri selalu mengusik hatinya. Tapi tak cukup juga untuk menghentikan langkahnya. “Care benang ne sube kadung meceleban. Sube kadung belus!”, sesal yang juga menjadi motivasinya. Jalan inilah yang telah ia pilih maka jalan inilah yang harus ia lalui.
Seirang berjalannya waktu, Mayun baru menyadari bahwa dirinya ada ditengah keluarga babotoh dan “bermasalah”. Tajen salah satu kebiasaan I Ketut Cedit, mertuanya. Ya... sebuah kebiasaan yang turun temurun di desa itu. Di mana ada piodalan di sana pasti ada Tajen. Tajen menjadi sebuah ciri dari piodalan itu sendiri. Bahkan itu ada sampai saat ini. Mungkin watak keras yang dimiliki mertuanya itu adalah efek dari dunia babotoh. Tidak hanya itu, ternyata suaminya pun adalah seorang babotoh. Ketut tidak suka ber tajen seperti ayahnya, tetapi ternyata dia gemar bermain ceki. Saking gemarnya, Ketut mampu bermain satu hari penuh pada hari raya Nyepi. Sebuah kebiasaan yang berbanding terbalik dengan kehidupan puri. Di puri, Mayun dididik untuk menjauhi judi terlebih saat hari raya Nyepi, karena Nyepi merupakan hari untuk merenungi dan memperbaiki diri, dan bukannya menambah dosa. Tapi ternyata kebiasaan ini tidak berlaku di keluarga suaminya. Apakah Mayun akan mekirig? Tidak! Hal ini justru membuatnya tertantang untuk memperbaiki keluarga ini. Tidak hanya dalam kepribadian, tingkat spiritual pun ingin Mayun tingkatkan di keluarga ini. Di keluarga ini Mayun mengalami kebingungan akibat kebiasaan salah yang mentradisi. Masyarakat hanya mabanten pada hari-hari tertentu saja. Pada "rahina-rahina" biasa mereka tidak menghaturkan puji syukur melalui persembahan canang.
Mayun telah masuk ke keluarga baru yang harus dia pahami dan bergabung di dalamnya. Kesabaran dan ketegarannya dalam menghadapi tantangan hidup tampaknya tidak patut diragukan lagi. Berbagai hal yang harus dia hadapi di keluarga suaminya telah menambah kekuatan hatinya. Tapi apakah ini telah membuatnya jauh dari keluarga kandungnya? Kekuatan cinta orang tua kepada anaknya tidak dapat dibendung oleh keangkuhan kasta. Cinta itulah yang mampu membawa orang tua Mayun untuk menerima anak dan menantunya apa adanya. Tanpa identitas kasta dan harta. Hanya dengan substansi dari cinta itu sendiri.
Pada tahun 1983 Mayun dan Ketut memeroleh seorang putra yang diberi nama Agus Mayendra Purnawan. Agus diambil dari bulan kelahirannya. Mayendra terlahir dari akar nama Mayun dan Jendra. Dan purnawan tercipta dari kata purnama yang menerangi malam kelahirannya. Buah hati mereka yang pertama. Buah cinta dan buah dari kebulatan tekad melawan keangkuhan sebuah kasta. Dengan lahirnya Agus sebagai anak sulung, semakin dekat pula ikatan yang terjalin diantara keluarga Anak Agung Gede Agung dengan keluarga I Ketut Cedit. Bahkan tempramen dari Ketut dan keluarganya pun secara perlahan berubah lebih baik. Tidak terlalu kasar dan mampu untuk matur menggunakan aturan sor singgih basa.
Enam tahun kemudian lahirlah seorang putri mungil di keluarga itu. Dia diberi nama Ayu Mayendri Septia Dewi. Ayu diambil nari nama tokoh ayu wandira pada sebuah drama radio saat itu. Mayendri adalah adik perempuan dari Mayendra, sekaligus anak dari Mayun dan Jendra. Septia berasal dari bulan kelahirannya, dan Dewi adalah harapan Mayun dan Jendra. Anehnya, Mayun dan Ketut tidak memakai nama Putu ataupun Kadek yang merupakan ciri dari orang Bali kepada anak-anaknya. Tapi toh itu tidak mengurangi rasa cinta mereka terhadap Bali walaupun tidak pernah mengelu-elukan ajeg Bali mereka meyakini bahwa ajeg Bali hanya dapat terwujud dengan sikap dan bukan dengan kata-kata hampa.
Aku adalah buah cinta kedua dari pasangan ini. Aku ada karena perjuangan mereka. Aku tercipta bersama cinta yang bersemi karena keteguhan hati salah satunya dan ketulusan cinta yang lainnya. Aku bangga terlahir di keluarga ini. Aku bangga menjadi “orang peralihan”. Ya... peralihan dari kasta sudra dengan kasta ksatria. Aku memperoleh banyak pelajaran dari keduanya. Kasta sudra yang penuh kebebasan tanpa aturan dibalik identitasnya sebagai kaum pengayah. Kasta ksatria yang penuh dengan pelajaran hidup yang terikat dan berlindung di balik tembok keangkuhan. Aku terbiasa hidup di Puri dan Gubuk, walaupun tidak menetap di salah satunya. Aku senang ada di tengah-tengah keluarga puri yang tidak panatik tapi mendidikku sebagai individu yang berdharma. Dan aku juga senang ada di tengah-tengah kaum sudra yang mengajariku tentang kebebasan. Oleh kerena itu, kini aku hadir sebagai individu yang bebas dengan ikatan. Aku cinta keluargaku terlepas dari berkasta atau tidak. Aku sayang keluargaku terlepas dari kaya atau tidaknya. Karena cinta tak terbatas status, ekonomi, ataupun perbedaan. Jika cinta itu ada, maka segala yang jauh menjadi dekat dan segala yang berbeda dapat disamakan. Kekuatan cinta bukanlah sekadar mimpi karena bisa diwujudkan dengan kesabaran dan kekuatan hati, plus bumbu pengorbanan. Hal senada dikatakan Gibran dalam Cinta, Tawa, dan Air Mata (Yogyakarta, Narasi, 2006, sampul). "Manusia tak bisa merasakan cinta, sebelum mengecap kesedihan dan perpisahan, kesabaran yang pahit, dan kesulitan yang membuat putus asa." Oleh karena itu, saat kau menemukan cinta jangan sia-siakan dia tapi jangan pula kau menggenggamnya. Karena cinta berdasarkan kekuatan dan kekuatan manusia tak sama dengan manusia yang lainnya.The Lincoln Lawyer: A Novel
إرسال تعليق
Terimakasih