BUKU KECIL ( Oleh Tresa Utami Hermis )

Menyusuri jalan raya yang masih lembab karena hujan deras tadi sore. Dan fikiranku mulai menerawang, lebih khususnya untuk masalah Ibu. Pasti Ibu akan berkomentar tentang kepulanganku yang terlambat dari biasanya karena aku lama berteduh menunggu hujan reda. Di dalam hatiku, aku hanya bisa berharap ada terselip kata-kata ‘MAKLUM’ yang terlintas difikiran beliau malam ini, ketika melihatku tiba di rumah dengan keadaan basah kuyup diterpa hujan saat di perjalanan pulang. Kenapa aku berkata demikian? karena Ibuku tak akan menggubris atau pun menerima alasanku begitu saja, jawabannya seperti biasa Ibu akan mengatakan…
“Tidak ada alasan lain yang bisa kamu lontarkan saat terlambat pulang?”, begitulah ucapannya setiap aku menjelaskan kenapa aku bisa pulang terlambat dan tentu dengan wajah yang tak pernah kutemui tersenyum sedikitpun. Di situ sudah cukup bisa dipastikan Ibu tak pernah mau menerima alasanku.
Setelah serkitar 30 menit aku menyusuri jalan raya dengan berjalan kaki, akhirnya aku tiba di depan rumah. Dengan pelan aku membuka pagar teras rumah, agar aku tak terlalu berisik dan mengganggu ibu yang biasanya jam segini tengah mengerjakan jahitan pakaian pesanan para tetangga atau teman-temannya. Saat kubuka pintu yang kebetulan kuncinya selalu aku bawa setiap bekerja atau berpergian, aku melirik kearah kiri dimana tempat ibu biasa menjahit, namun tak ada sosok ibu di sana, yang tampak hanyalah mesin jahit yang terbungkus rapi dengan kain putih bercorak dan kacamata yang selalu setia menemani beliau saat bakerja. Mungkin ibu sudah tidur atau sedang beristirahat di kamar. Aku mulai berjalan ke arah dapur bermaksud mengambil segelas air putih di lemari es, tapi…… aku sedikit terkejut. Segelas teh, lauk pauk, nasi yang semuanya masih hangat dan 1 tablet obat anti flu tersusun rapi di atas meja. Ternyata ibu masih sempat menyiapkan semua ini untukku, padahal aku tau pekerjaannya sudah cukup menyita waktu, dan aku juga tak berharap segalanya dipersiapkan oleh Ibu.
 “Jangan dipandang saja makanannya, Dis” suara yang kucari-cari dari tadi akhirnya terdengar. Ibu keluar dari kamarnya.
“Terus jangan lupa dimakan obat anti flu-nya. Tapi kalau memang tidak mau dimakan ya tarserah kamu,” ucap Ibu lagi tanpa menoleh ke arahku dan sedang mencari sesuatu di laci masin jahitnya. Kemudian kembali masuk ke kamar. Hmm, kata-kata seperti tak perduli lagi yang kudengar kali ini.
“Iya Bu. Nanti gadis makan kok,” Jawabku lesu. Aku menarik nafas dalam-dalam seraya menikmati makanan yang disiapkan Ibu untukku. Tapi sedikit heran juga, tumben beliau tak bartanya alasanku pulang terlambat kali ini. Mungkin beliau sudah mengerti jika hujan aku tak bisa berjalan kaki dengan lancar agar datang ke rumah tepat waktu. Begitulah Ibu, dengan sifatnya yang tertutup pada siapa saja termasuk aku, anak kandungnya sendiri. Kami seperti orang asing yang hidup dalam satu rumah, itu dikarenakan minimnya komunikasi yang terjalin diantara kami. Bisa dikatakan Ibu berubah setelah ayahku tiada saat aku masih berusia 7 tahun. Ibu berubah menjadi seorang wanita tegas, keras, tangguh, tak pernah atau tak mengenal kata-kata mengeluh di hidupnya. Bahkan semua itu berlaku juga untukku, aku harus anti dengan sifat-sifat manja, karena menurutnya manja hanya dimliki oleh anak-anak yang lemah yang hanya bisa merengek tak ada gunanya. Apalagi, Ibu paling murka melihat aku mengeluarkan airmata, sekali pun itu hanya setetes. Yang ia inginkan adalah aku menjadi wanita yang mandiri, kuat dan tidak tergantung pada orang lain. Contohnya dulu saat kecil, aku pernah merengek agar Ibu mau membelikanku boneka. Tapi yang terjadi bukannya Ibu membelikanku boneka, melainkan  beliau memberiku sebuah celengan yang terbuat dari tanah liat barbentuk ayam berwarna merah, dan beliau barkata..
“Kalau kamu menginginkan boneka itu, dari sekarang mulailah untuk mengisi celengan ini setiap hari dari sisipan uang jajananmu,dan jangan pernah kamu merengek tak jelas seperti itu,” begitu katanya.
Otomatis, semenjak itu aku tak pernah sekalipun meminta ibu membelikanku sesuatu kecuali Ibu siap merogoh koceknya hanya untuk pendidikanku. Untung dalam soal ini beliau tak perhitungan karena beliau juga orang tua normal yang ingin anaknya berhasil dalam bidang akademik. Selain itu contoh lain yang pernah kualami bersama Ibu adalah saat aku mendapat tugas dari guru kesenian untuk menggambar, karena aku benar-benar tak bisa menggambar, aku bermaksud meminta bantuan Kak Tika, tetanggaku yang kebetulan mahir dalam menggambar. Awalnya aku mengira Ibu akan baik-baik saja dengan ideku ternyata malah sebaliknya. Ibu merebut buku gambarku kemudian memegang tanganku dengan erat dan sedikit sakit.
“Gunakan tanganmu sendiri, jangan pernah meminta bantuan orang lain selagi kamu bisa,” ujar Ibu tajam. Aku ingat betul, biarpun rasa sakit hati dan  takut  berkecamuk saat itu, namun aku tak mengeluarkan airmata sedikit pun karena aku tau Ibu tak akan suka jika itu terjadi.  bisa-bisa Ibu akan lebih mengamuk. Setelah itu aku malah berlari ke kamar kemudian bersembunyi di belakang pintu untuk menangis, menangis sejadi-jadinya, dengan tanpa suara agar tak didengar oleh Ibu.Kulampiaskan kesedihanku dengan airmata di balik pintu hingga beberapa menit.
Jadi, jangan salahkan aku jika akhirnya aku menjadi wanita yang sedikit tomboi, dan tak punya sesuatu yang menarik sebagai keturunan hawa yang terkenal dengan keayuan, kelembutan, dan kecantikannya, mungkin yang terlihat dari sosok GADIS ADYANINGSIH adalah kekakuan.
Setelah menyantap makanan di atas meja, aku langsung menyeret kakiku ke arah kamar. Ah… sepertinya aku akan tertidur lelap malam ini  lantaran seharian ini aku terlalu memorsirkan tenagaku di kantor. Sekaligus aku tengah sibuk-sibuknya mempersiapkan surat-surat untuk keberangkatanku Minggu depan ke LA, di sana aku melanjutkan kuliahku yang sempat terhenti tahun lalu akibat kurangnya biaya. Dengan santai aku membaringkan badanku di atas ranjang dan mulai memejamkan mata.

Hari ini lagi-lagi aku pulang terlambat lantaran malam ini aku pamitan ke kediaman keluarga besarku. Karena malam ini adalah malam terrakhir aku berada di Indonesia dan mungkin akan kembali 4 tahun kemudian. Dan berarti juga malam terakhir aku bersama dan menemani Ibu. Jujur, aku belum siap untuk meninggalkan beliau begitu saja, karena mungkin sebelumnya aku tak pernah jauh dari sosok Ibu sekali pun aku tak pernah dekat secara emosional padanya.
“Gadis pulang, Bu” ucapku menoleh ke arah sofa ruang tamu. Ternyata Ibu sedang duduk dan ditemani buku sejenis novel yang sedikit telah usang. Sedikit senang, mungkin Ibu sengaja menungguku dan mengajak mengobrol untuk terakhir kalinya malam ini. Ibu menatapku sekilas kemudian beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju ruang tengah.
“Bi Tuti lagi sakit. Jadi dia tidak bisa cuci pakaian hari ini,” ujarnya sembari masuk kamar dan menutup pintu, aku baru ingat tadi pagi aku minta tolong pada Ibu untuk menyuruh Bi’ Tuti mencuci pakaianku. Oh, ternyata aku keliru kali ini, Ibu tak akan pernah bisa menjadi yang aku inginkan. Tak disadari setetes airmataku terjatuh, ini benar-benar membuatku ingin berteriak dan membanting semuanya yang ada di sekitarku, namun aku tak berdaya untuk itu. Semuanya sudah terlanjur tercipta seperti ini, Ibu benar-benar membuatku kecewa kali ini, apa Ibu tak ingin menghabiskan malamnya bersamaku malam ini? Apa sebenarnya yang ada difikirannya saat ini?. Tanya besar dalam benakku.
“Oh Tuhan, kenapa begitu sakit rasanya hati ini melihat Ibu seperti itu. Beliau Ibuku, yang seharusnya selalu memberi ketenangan dan kenyamanan padaku. Tapi malah banyak memberi keperihan yang mendalam,” rintihku pada Tuhan mempertanyakan kejanggalan.
Pasrah aku berjalan menuju dapur. Pandanganku langsung tertuju pada sesuatu di atas meja, aku mendekat, ternyata sepiring nasi uduk kesukaanku tersedia di sana. ”Ibuuuuuuu” spontan kupanggil Ibu dan refleks aku menoleh ke arah kamar Ibu. Tapi, yang kudapati hanya pintu yang tertutup rapat dan lampu yang sudah tak menyala. Niatku hanya ingin mengucapkan terima kasih sudah menyiapkan makanan kesukaanku, karena hal seperti ini jarang terjadi. Senang rasanya melihat ada sedikit respon dari Ibu kali ini. Dengan cepat Aku menyantap nasi uduk buatan Ibu yang kebetulan Aku juga tengah lapar. Paling tidak mengumpulkan tenaga untuk mencuci pakaian setelah ini fikirku.
Akhirnya selesai dan sekarang saatnya aku menuju kamar mengganti pakaian dan siap untuk mencuci. Aku berjalan ke arah  kamar, tarik nafas dalam-dalam sebelum malihat isi kamarku yang berantakan. Tapi, sepertinya tidak. Kamarku tak berantakan, pakaian sudah tersusun rapi di atas ranjang, seprai juga sudah diganti dengan seprai baru. Lagi-lagi aku menoleh ke arah kamar Beliau. Kenapa tak ada inisiatif untuk bersama malam ini? kenapa harus dengan cara seperti ini tanpa ada kecakapan yang terlontar?. Aku kembali memandang kamarku, semangatku semakin menurun presentasenya. Namun.. lagi-lagi ada sesuatu yang membuat pandanganku lekat, di pojok ranjangku terdapat sebuah kotak kecil berwarna hitam. Dengan perlahan aku meraihnya, tentu dengan perasaan yang cukup penasaran. Aku mulai membuka kotak tersebut, sungguh amat tidak kusangka apa yang kulihat dari isi kotak itu. Sebuah kalung emas yang biasa dikenakan Ibu di saat momen-momen tertentu, dan sebuah buku kecil berwarna merah yang sedikit usang. Apa ini? Hatiku mulai tak tenang.
Aku mulai membuka halaman pertama buku itu. Di sana tertulis. “Untuk anakku Gadis”. Aku mulai membaca. Ternyata semuanya dari Ibu, rasa penasaranku kini mencapai puncaknya.
“Ibu tahu pasti ada rasa kecewa di hatimu saat ini. Saat kau membaca surat ini Ibu harap kau sudah mengerti kenapa Ibu hanya bisa melakukan ini. Ibu takut Ibu tak mampu mengendalikan perasaan Ibu sendiri, Ibu takut akan terlihat lemah di depanmu”.
Kali ini perasaanku berubah menjadi rasa kesal dan airmataku sontak tertumpah. Sekarang aku mulai punya gambaran tersendiri tentang Ibu, Ibuku ternyata sama seperti ibu-ibu yang lain yang juga memiliki perasaan halus jauh di lubuk hatinya. Beliau hanya tak ingin terlihat lemah di depanku.
“Ibu berharap kamu menjadi anak yang selalu Ibu banggakan sampai kapan pun. Dan kalung emas itu untukmu, mungkin kau bisa gunakan jika perlu. Jaga dirimu baik-baik. Maafkan Ibu telah membuat hari-harimu penuh dengan kekosongan, Ibu menyayangimu, nak. Sampai kapan pun…”.
Membaca rentetan kata yang tersusun di lembaran buku itu yang murni Ibu tulis sebagai ungkapan hatinya, airmataku benar-benar tak bisa kutahan, aku menangis sejadi-jadinya. Ingin rasanya mengetuk pintu kamar Ibu kemudian memeluknya seerat mungkin. Namun, aku sadar tidak mungkin aku menampakkan mata sembabku pada Ibu. Beliau tetap tidak akan suka.
Semalaman aku tak bisa tidur sedikit pun, bayangan Ibu tak bisa lepas dari ingatanku. Buku kecil berwarna hitam itu menjadi pilihan Ibu untuk menyampaikan segala isi hatinya untukku yang terakhir kalinya, dibanding harus diutarakan langsung kepadaku karena itu bisa saja membuat ibu menjadi down. Dan setelah ini aku akan hidup sendiri tanpa Ibu di sisiku, dihadang masalah, cuaca, tanpa ibu. Aku benar-benar sendiri.

Hari Ini aku siap untuk menuju bandara. Dengan setelan baju berwarna merah jambu andalannya, ibu tampak sangat cantik. Dan sepanjang jalan Ibu tak sedikit pun melepaskan genggaman tangannya dari tanganku, walau dengan kondisi seperti ini tak terlihat ada perpisahan baginya, di wajahnya hanya tampak rasa tak ingin melewati detik-detik terakhir bersamaku, itu sangat terasa dari genggaman hangat tangannya yang erat. Sekarang aku baru menyadari aku termasuk orang yang beruntung memiliki Ibu seperti beliau, wanita tangguh, itu julukan yang pantas untuk seorang Ibu seperti beliau.
Sekaranglah detik terakhir kebersamaan kami. Ibu memelukku erat seraya mengusap bahuku dengan lembut, ia tersenyum kecil lantas mengecup keningku. Sejuk melihat senyum itu, senyum pertama yang telah lama hilang berbelas-belas tahun lamanya.
“Hati-hati, Nak” ucap Ibu sedikit berbisik. Sekaligus ucapan manis terakhir untukku.
“Gadis pasti rindu Ibu,” ucapku mencoba membendung tangis dan berusaha tersenyum. Ibu mengangguk kemudian melepaskan genggamannya. Karena pesawat akan segara take off. Di jendela pandanganku tak berpaling dari sosok Ibu yang melambaikan tangannya, dan pasti di lubuk hatinya berharap aku akan pulang dengan segera dan kembali menemaninya. Airmataku tertumpah sudah sekarang. Dan kini di tanganku terpegang erat buku kecil kepunyaan Ibu yang berisikan curahan hati dan pesan terakhirnya untukku. Juga akan menjadi satu-satunya kenangan dari beliau. Love you, Mom.

Penulis: Mahasiswa Jurusan Sejarah STKIP-PGRI Pontianak

Post a Comment

Terimakasih

Lebih baru Lebih lama